GELIATEKONOMI, BANDUNG — TINGGINYA jumlah penduduk Jawa Barat, tampaknya berbanding lurus dengan tingginya masalah yang dihadapi Keluarga-keluarga di Jawa Barat. Kalau sudah begitu, butuh persiapan memadai untuk membangun Ketahanan Keluarga. Salah satunya melalui Sekolah Pranikah.
Pada tahap awal, Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Jawa Barat. Melaksanakan “Rraining of Trainer (ToT)”. Bagi Petugas Lini Lapangan dan para Fasilitator Pembinaan Perkawinan (Binwin) Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia. Selama dua hari, 10-11 Juli 2025. Tidak kurang dari 1.500 Peserta mengikuti ToT yang dihelat secara Virtual tersebut.
“Jawa Barat merupakan wilayah dengan populasi penduduk terbesar di Indonesia, yaitu sebanyak 50,3 juta jiwa atau 17,82 persen dari Total Populasi Indonesia. Tingginya jumlah penduduk turut menyumbang pada berbagai Permasalahan Keluarga, termasuk tingginya angka Perceraian,” ungkap Kepala DP3AKB Jawa Barat, Siska Gerfianti saat membuka kegiatan.
Siska menjelaskan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2024 lalu jumlah Kasus Perceraian di Jawa Barat mencapai 88.837 Kasus. Angka ini merupakan yang tertinggi secara Nasional. Dilihat dari penyebabnya, Faktor Utama Perceraian, meliputi Perselisihan dan Pertengkaran Terus Menerus (51.122 Kasus), Masalah Ekonomi (33.264 Kasus) dan Meninggalkan Salah Satu Pihak (2.781 Kasus).
Data BPS jua menyebutkan, masalah Ekonomi Keluarga sering kali berkaitan dengan ketidakmampuan Mengelola Keuangan. Dari situlah muncul kasus Pinjaman Online (Pinjol) dan Judi Online (Judol). Data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan. Bahwa Jawa Barat, memiliki angka penggunaan Pinjol dan Judol tertinggi di Indonesia.
“Pinjol dan Judol ini, memicu Keretakan Rumah Tangga dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Jawa Barat juga menempati Peringkat Ke-Dua secara Nasional untuk Kasus Perceraian Akibat KDRT dengan 653 Kasus dari 7.243 Kasus Nasional,” tambah Siska.
Di sisi lain, Siska mengatakan bahwa Pasangan Usia Subur (PUS), menghadapi berbagai tantangan. Seperti rendahnya pengetahuan kesehatan Reproduksi, Risiko Pernikahan Usia Dini, minimnya kesadaran tentang pentingnya Kesehatan Mental dan kurangnya pemahaman Keluarga Berencana. Hal-hal tersebut berkontribusi pada tingginya Angka Perceraian, Stunting, hingga Kematian Ubu dan Bayi.
Melihat sejumlah kronis tersebut, sambung Siska, Pemerintah Provinsi Jawa Barat melalui DP3AKB bersama Dinas Kesehatan, Kemenag, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) Balarea. Telah menyusun Modul Sekolah Pranikah. Modul tersebut diujicobakan di Dua Kabupaten, meliputi Kabupaten Bandung dan Kabupaten Cirebon.
“Pada 2025 ini Modul tersebut diseminasi melalui kegiatan ToT Sekolah Pranikah. ToT ini diperuntukkan bagi Fasilitator atau “Trainer” Bimbingan Perkawinan, Petugas Dinas dan Penyuluh yang kami yakini sebagai agen perubahan dalam Pembangunan Keluarga di Jawa Barat,” ungkap Siska. (Sip).